Rabu, 09 Mei 2012

Sejarah Pembentukan KUHP

Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Di samping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda. Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. SEJARAH HUKUM PIDANA Sejarah hukum tertulis dimulai dengan waktu kedatangan orang Belanda yang pertama di Indonesia. Sejak dahulu maka hukum yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia sebanyak mungkin disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Asas konkordansi itu senantiasa dipegang teguh selama orang belanda itu menguasai perundang-undangan di Indonesia (pasal 131 ayat (2) sub a. IS). Jadi sejak permulaan, hukum pidana tertulis yang berlaku bagi orang Belanda dikonkordasi dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda. Hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang pertama-tama disini adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC. Hukum kapal terdiri atas dua bagian : Hukum Belanda yang kuno ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Bagian terbesar hukum kapal tersebut adalah hukum disiplin. Hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai VOC itu terdiri dari : (E, Utrecht : 1965). 1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statutan van Batavia) 2. Hukum Belanda yang kuno 3. Asas-asas hukum Romawi Sebagaimana diketahui VOC dibubarkan tahun 1978. Pemerintahan atas daerah bekas VOC dilakukan oleh suatu Raad Van Aziatische Bezittingen en establissementen, disingkat dengan Aziatiche Raad, yang mulai dengan pekerjaannya pada tanggal 1 Januari 1800. Pada tanggal 27 September 1804 Pemerintah Bataafsche Republik mengesahkan suatu charter voor de aziatische bezittingen van de Bataafsche Republik. Menurut Supomo dan Jokosutono bahwa : Rancangan dari charter ini adalah buah pikiran dari panitia yang dilangsungkan pada tanggal 11 November 1802. Di dalam panitia ini terdapatlah dua aliran-aliran yang tidak suka pada “perubahan” dan aliran yang pada “perubahan”. Akibat dari pertemuan di antara dua aliran ini ialah suatu kerukunan. Perubahan penting terhadap hukum pidana, khususnya mengenai sistem hukuman, diadakan setelah Daendeles diangkat menjadi gubernur jenderal dan tiba di Indonesia pada tahun 1808 . daendeles dikirim ke Indonesia dengan tugas antara lain mengreorganisasi pemerintah dalam arti sempit, justisi, dan polisi Pada tahun 1810 atas perintah Daendeles dibuat suatu peraturan mengenai hukum dan peradilan. Bagi golongan Eropa berlaku statute betawi baru, sedangkan bagi golongan pribumi berlaku hukum adatnya. Tetapi, gubernur jenderal berhak mengubah sistem hukuman menurut hukum adat bilamana : a. Hukuman dianggap tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan b. Hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara Menurut plakat tanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman : a. Dibakar hidup terikat pada suatu tiang b. Dibunuh dengan menggunakan sebilah keris c. Dicap bakar d. Dipukul e. Dipukul dengan rantai f. Ditahan ke dalam penjara g. Bekerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum Akhirnya hukum pidana dapat menyimpang dari hukum pidana adat dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Apabila hukum pidana adat dapat dijalankan terhadap orang yang melakukan suatu delik, sedangkan berdasarkan keyakinan hukum positif harus diberi sanksi hukuman 2. Apabila hukuman yang dijatuhkan menurut hukum pidana adat terlalu ringan atau terlalu berat, sehingga tidak sesuai dengan keadilan 3. Apabila alat-alat pembuktian menuntut hukum adat kurang cukup, sehingga tidak dapat meyakinkan hakim akan salah tidaknya perbuatan terdakwa. Sebagian ahli hukum berpendapat, bahwa alasannya bukan karena hukum adat itu tidak cukup baik untuk orang Eropa, akan tetapi sejak zaman VOC telah terkandung niat dalam politik hukum orang Belanda: apakah tidak lebih baik apabila orang pribumi pun ditundukkan juga pada hukum Belanda. Pada zaman pendudukan tentara Inggris, yang menjadi penguasa terpenting ialah Sir Thomas Stanford Raffles. Pentingnya orang ini, ialah minatnya juga terhadap adat istiadat dan bahasa rakyat Indonesia. Raffles berhasil menulis buku paling pertama yang bermutu tentang kebudayaan Indonesia, yaitu khusus kebudayaan Jawa. Pemerintahan Inggris mengadakan perubahan atas hukum positif. Perubahan yang besar adalah atas hukum acara dan susunan pengadilan. Hukum materiel bagi orang Eropa tetap hukum statuta. Berdasarkan konvensi London tertanggal 13 Agustus 1914, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda, kepada Komisaris jenderal diberi suatu instruksi tanggal 3 Januari 1815. Instruksi ini menjadi Undang-Undang Dasar pemerintah Kolonial pada waktu itu dan terkenal dengan nama : Regerings Reglement van 1815 (RR 1815). Tindakan pertama dari para komisaris jenderal, setibanya di Indonesia terhadap hukum di Indonesia, ialah mempertahankan untuk sementara waktu, semau peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris, hal ini untuk menghindarkan “Rechts Vactum”. Berdasarkan LNHB Tahun 1828 No. 16 diadakan suatu sistem kerja paksa sebagai sistem hukuman. Sistem kerja paksa dengan sendirinya hanya dilakukan bagi para terhukum bangsa pribumi yang terbagi dalam dua golongan : 1. Yang dihukum kerja rantai 2. Yang dihukum kerja paksa Sejak kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1815, maka pada waktu itu tetap ada keinginan untuk mengadakan suatu kodifikasi. Tugas membuat kodifikasi tersebut baru dapat diselesaikan pada tahun 1848 oleh Scholten Van Oud Haarlem dan Wichers. Tetapi hukum pidana tidak termasuk kodifikasi tahun 1848. Untuk hukum pidana tetap berlaku keadaan pada waktu sebelum tahun 1848. Selanjutnya pada tahun 1848 dibuat peraturan hukum pidana, yang terkenal dengan nama Interimaire Strafbapalingen, LNBH 1848 No. 6. Sampai tahun 1867 dan tahun 1873 mengenai hukum pidana tertulis berlaku :  Primer : Hukum yang terdapat dalam statute Betawi  Sekunder : Hukum Belanda kuno  Lebih sekunder : Asas-asas Hukum Romawi  Lebih sekunder lagi : Apa yang disebut oleh Kolonial Verslag tahun 1849 Idema dalam bukunya membagi zaman tahun 1848 sampai dengan tahun 1934 dalam :  1848 - 1873 Dari zaman tata hukum pidana yang sangat beraneka warna ke zaman tata hukum pidana yang dualistis  1873 - 1918 Dari zaman tata hukum pidana yang dualistis ke zaman tata hukum pidana yang terunifikasi  1918 - 1934 Ke arah manakah? (Utrech : 1965)

Macam-Macam Pidana -

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut : Hukuman-Hukuman Pokok 1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini. 2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol. 3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian. 4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan. 5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP. Hukuman Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain : 1. Pencabutan hak-hak tertentu. 2. Penyitaan barang-barang tertentu. 3. Pengumuman keputusan hakim.

Actus reus Mens rea

“Dipidananya seseorang tidaklah cukup hanya apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana” (Prof. Sudarto,S.H.) Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak selalu dapat dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang itu tidak cukup dilakukannya tindak pidana saja tetapi juga harus memenuhi pula adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Prinsip diatas adalah suatu adagium atau maxim yang sudah lama dianut secara universal dan telah menjadi asas dalam hukum pidana, yaitu “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” atau biasa juga disebut dalam berbagai bahasa yang populer, yaitu; Actus non facit reum, nisi mens sit rea Nulla poena sine culpa Geen straf zonder schuld Ohne schuld keine strafe An act does not make a person legally guilty unless the mind is legally blameworthy Dalam KUHP, asas ini tidak secara tegas tercantum dalam KUHP. Namun demikian terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang secara implisit mengakui berlakunya asas ini, antara lain pada pasal 44, 48 sampai dengan 55 KUHP, dimana pasal-pasal tersebut mengatur ketentuan-ketentuan tentang tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang disebut dengan alasan-alasan peniadaan pidana (Strafuitsluitingsgronden). Sementara dalam Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” diakui sebagaimana Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi; “Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya” Dan asas ini juga akan dipertegas lagi jika RUU KUHP 2004 diberlakukan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat 1 yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan.” Yang kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 36 ayat 1: ”Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan.” Berhubungan dengan adagium diatas, seseorang hanya dapat dijatuhi pidana bukan hanya karena seseorang tersebut telah melakukan perilaku lahiriah (outward conduct)yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut umum, tetapi juga bahwa pada waktu perbuatan itu dilakukannya, orang itu harus memiliki kondisi jiwa atau disebut pula oleh Prof. Sutan Remi Sjahdeini,S.H. sebagai sikap kalbu (state of mind) tertentu yang berhubungan secara langsung dengan perbuatan itu. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa/sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element) (Jones dan Card). Kesalahan dan unsur-unsurnya Kesalahan adalah merupakan terjemahan dari perkataan (bahasa) Belanda yaitu “Schuld” yang mempunyai arti menurut pengertian dalam hukum pidana berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa). Selain itu, kesalahan juga telah diartikan oleh para pakar, yaitu diantaranya; 1. Simons, menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya. Sehubungan dengan uraian tersebut beliau mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu; a. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) b. Hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan c. Dolus atau Culpa 2. Utrecht, menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hokum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu: a. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat b. Suatu sikap psykhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yakni: i. Kelakuan disengaja (anasir sengaja), dan ii. Kelakuan adalah suatu sikap kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin). c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir toerekeningsvatbaarheid). 3. Roeslan Saleh, pendapatnya sama dengan pendapat Utrech serta mengikuti pendapatnya Moeljatno, bahwa pertanggung jawaban pidana adalah KESALAHAN, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah: a. Mampu bertanggung jawab b. Mempunyai kesengajaan atau kealpaan c. Tidak adanya alasan pemaaf 4. Mezger, menyatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya percelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana”. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa didalam pertanggung jawaban pidana semua unsur kesalahan tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah: a. Melakukan perbuatan pidana, b. Mampu bertanggung jawab c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf